Terbelalak mataku membaca headline berita pagi ini yang mengabarkan bahwa rupiah sudah menembus angka 10,000 per 1 dollar Amerika. Bagi banyak orang angka 10,000 dianggap sebagai level psikologis, jadi kalau level itu sudah terlewati maka kondisi perekonomian Indonesia semakin terlihat suram.
Sebenarnya sebelum dollar menguat pun tanda-tanda “kebangkrutan” itu sudah mulai terlihat. Berhubung gue bergerak di industri tekstil yang memang sudah megap-megap sejak 4 tahun terakhir, maka fenomena dollar menguat ini terasa bagaikan jatuh dan tertimpa tangga. Diawali dengan ketatnya persaingan dari Cina yang menggebuk pasar dengan produk-produk supermurah. Bayangkan, sepasang kaos kaki dari merek yang terkenal di Indonesia berharga paling sedikit Rp 20,000.-/pasang, sementara di Pasar Tanah Abang dengan mudahnya kita menemukan kaos kaki made in china yang dijual seharga 10,000.-/tiga pasang! Kok bisa? Kita memang curiga bahwa selain upah buruh yang murah, over subsidi dari pemerintah mereka juga menyebabkan chaos ini. Gak peduli kualitas murahan, yang penting bisa penetrasi pasar dan secure 1-2 order sudah cukup buat mereka. Gila!
Harga minyak yang meninggi juga membuat harga bahan baku tekstil naik sebanyak 15% sejak 2 bulan lalu. Namun kado kemerdekaan datang di medio Agustus ketika pemerintah – di saat harga minyak menyentuh USD 64/barrel – menaikkan harga solar industri sebesar 150%. Kebijakan ini memukul industri tekstil yang terpaksa menaikkan harga sampai 10-15% mulai bulan Agustus. Produk Indonesia yang sudah tidak kompetitif akan tambah kehilangan daya saingnya dibanding produk-produk China dan Taiwan.
Sepertinya efek domino akan terus berlanjut, dan gue semakin khawatir harga-harga kebutuhan rumah tangga akan terkena imbasnya juga. Minggu ini tarif tol di seluruh Indonesia naik rata-rata Rp 500.-; Pertamax naik (angkanya gue lupa); Tarif Dasar Listrik diusulkan naik; tarif telepon sudah menjerit minta naik; dan jika harga minyak sampai menembus level USD 70/barrel, tarif angkutan umum akan diusulkan naik juga. Pemerintah sepertinya terikat dan tidak bisa berbuat banyak menghadapi situasi yang semakin morat-marit ini dengan alasan bahwa semuanya tergantung pada mekanisme pasar.
OK, gue sebenarnya gak mau berpanjang-lebar soal situasi ekonomi, karena banyak analis yang jauh lebih kredibel yang bisa memberikan opini. Akan tetapi gue semakin khawatir bahwa situasi seperti ini akhirnya akan menurunkan kualitas hidup masyarakat kita. Keluarga gue masih beruntung karena adik-adik masih bisa kuliah dan sekolah, masih ada rumah berteduh, dan kebutuhan pokok serta utilities yang masih terbayar lunas setiap bulan. Namun gue sudah denger bahwa sepupu gue terancam putus sekolah karena papanya berhenti kerja. Lalu jumlah pengemis di atas jembatan Wisma Dharmala sudah mulai bertambah sehingga total berjumlah 2 keluarga. Perusahaan Jepang di lantai 7 tutup karena gagal berbisnis (berapa orang yang di-PHK?).
Carut-marut
Morat-marit
Simpang-siur
Celingak-celinguk
Mondar-mandir
Gak ada solusi!
hikz……………… waaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
belanjanya di flea market aja! heuheuheuehe
emang paling asoy belanja di emperan, hehehe.