Udah hampir seminggu Jakarta hujan badai. Emang gak terus-menerus sih, tapi cukup membuat hati kebat-kebit melihat kabut tebal yang tiba-tiba bisa menyelubungi kota. Foto-foto di atas bisa sedikit menggambarkan pekatnya cuaca 2 hari yang lalu. Gambarnya terlihat buram karena kabut lagi tebal-tebalnya (ngeles ah, sebenarnya kamera gue aja yg burem, hihihi). Kunjungan ke Semarang dengan naik pesawat pun akhirnya ditunda seminggu demi alasan sentimentil ini.
Namun di tengah cuaca seperti ini, romantisme menyeruak tiba-tiba. Lembabnya udara membuat partikel debu terjerat di kubangan air dan udara Jakarta tiba-tiba jadi sedikit segar. Pohon-pohon dan tanah terlihat basah meneteskan air dan got-got beriak seperti sungai mengalir. Para pekerja kantor terlihat mengenakan jas hujan atau minimal jaket yang lumayan tebal untuk menahan hawa dingin. Dan ah, sepasang muda-mudi berjalan bergandengan tangan dinaungi sebuah payung biru cerah. Kota kelahiranku yang biasa diselimuti awan individualisme para penghuninya ini mendadak tampak begitu bersahabat. Jalanan yang kecoklatan oleh lumpur memancing orang-orang pinggiran untuk meng-SMS boss mereka dengan kelitan wajib “Macet”, untuk kemudian meneruskan bermain dengan anak-anak mereka. Aku sendiri membeli nasi uduk di Pasar Benhil yang muantepp itu dan gak biasanya disambut senyuman ramah “Wah udah lama gak keliatan ya!”
Wajahmu sudah lama tertutup debu dan abu.
Namun hari ini engkau terlihat, … manusiawi!