Dengan semangat membangun bangsa plus memanfaatkan Sunset Policy 2008, plus juga karena iming2 bisa bebas fiskal LN mulai tahun depan, kemarin pagi saya memutuskan untuk mendaftar NPWP. Antrian di kantor pajak sangat banyak, tapi luar biasanya saya hanya perlu menunggu 10 menit. Memang menurut penuturan seorang teman saya yang karyawan sebuah bank asing ternama, pelayanan kantor pajak sekarang sudah cepat melebihi kecepatan pelayanan mereka sendiri. Sebuah perbaikan yang bagus. Saya sendiri sampai terburu-buru karena isian formulir masih belum selesai semua sementara nomor antrian terus berjalan.
Sampai di loket pendaftaran NPWP, lancar semua, formulir harus ditinggal dan kartu NPWP harus diambil besoknya. Gapapa, pikir saya. Apalagi dia menjanjikan, “besok gak usah antri mas, ke sini tinggal bawa tanda terima, NPWP langsung saya kasih.” Tapi muncul masalah lain: status saya sebagai pekerja lepas membingungkan dia untuk mengenakan PPh pasal berapa ke saya. Status saya memang pengajar part-time di sebuah sekolah Bahasa Inggris, plus penerjemah lepas, plus bisnis serabutan kanan-kiri, hehe. Walhasil, saya tidak terdaftar sebagai karyawan di mana pun dan tidak ada pihak mana pun yang memungut pajak atas penghasilan saya. Lalu jumlah penghasilan saya pun tidak menentu setiap bulan, sebab sangat tergantung jumlah jam mengajar dan seberapa banyak order kerjaan lain yang saya terima.
“Ke lantai 3 dulu deh mas, konsultasi sama orang di atas biar kita tahu mesti mengenakan pasal berapa.” Walah, bakal ribet deh nih. Ok-lah saya ke atas. Sampai di atas saya tetap terkesima dengan pelayanan kantor pajak yang cepat. Saya langsung diterima oleh seorang petugas pajak di meja kerjanya meski saya mesti menunggu barang sebentar karena kebetulan dia sedang menerima telpon. Namun begitu telpon ditutup, dia langsung menyapa ramah.
Mulailah kerunyaman dimulai. Ternyata status saya digolongkan sebagai pekerja bebas yang belum terklasifikasi (nah loh!). Ini dikarenakan angka penghasilan saya yang tidak tetap setiap bulannya dan saya juga bukan termasuk tenaga ahli seperti dokter, melainkan sebagai pemberi jasa. Jadi intinya, saya dikenakan PPh Pasal 25 dan saya harus melakukan pencatatan dan pelaporan setiap bulan ke kantor pajak! Jadi gak bisa hanya dengan memanfaatkan SPT Tahunan setahun sekali. Aduh, kebayang dong mesti ketambahan kerjaan ke kantor pajak setiap bulan. Iya kalo ada yang seger yang bisa dilihat, ini mana ada (hehehe). Ok-lah, secara saya juga orangnya males ribut bawaannya, saya iyakan saja, terus turun lagi ke lantai 1. Di bawah (tanpa antri) saya ke loket tadi, saya serahkan formulir sambil mengkonfirmasikan status saya kepada petugasnya. Dia bilang “Besok pagi diambil kartunya ya Pak.”
Ok, masalah berikutnya adalah bagaimana cara menghitung pajak yang harus dibayar. Berdasarkan penjelasan petugasnya, saya memiliki 2 cara: melakukan pembukuan sesuai prinsip akuntasi atau melakukan pencatatan. Kalau saya tidak mampu menyelenggarakan pembukuan, maka saya bisa melakukan pencatatan saja. Masalahnya adalah cara mencatatnya ini yang rada simpang-siur. Kelihatannya saya harus menghitung tidak hanya penghasilan bruto, namun juga penghasilan netto. Dan jika saya tidak menyelenggarakan pembukuan yang memungkinkan saya mengetahui angka netto dengan tepat, maka dipakailah rumus Norma Penghasilan Netto sesuai dengan tipe pekerjaan saya. Setelah angka Netto didapat, barulah rumus penghitungan pajak menggunakan Pasal 17 tentang tarif pajak dapat dipakai.
Masalah lainnya muncul: saya meneliti daftar norma penghitungan netto dan mencari kategori pekerjaan saya untuk mendapatkan persentase penghasilan nettonya. Ternyata ada 2 kategori yang saya anggap bisa masuk, yaitu Pemberi Jasa dan Pekerja Lain yang Belum Terklasifikasi. Untuk kategori pertama, persentasenya 17% dan yang kedua 45%. Jelas yang pertama untung dong, secara pajak saya dihitung dari angka tersebut kok. Cuma saya jadi gak yakin dengan kategori ini, plus cara pelaporan menggunakan excel sheet-nya seperti apa yang bisa diterima orang pajak. Terus nanti cara penyampaian SPT Tahunan-nya gimana pula?!
Duh, dari awalnya niat mulia membangun negara, ternyata saya malah ketiban PR untuk belajar pajak. Mumet!!!!