Apa yang mampir di benak Anda ketika mendengar bahwa sebuah film tidak lolos sensor dan dilarang diputar? Kalau saya sih berpendapat bahwa kebebasan menonton film seharusnya tidak dilarang. Lalu kalau Anda ditawari menonton filmnya, apa Anda mau? Saya menemukan film “Balibo” secara tidak sengaja di rak DVD bajakan di Jakarta. Sebagai orang yang dibesarkan dan menempuh pendidikan sekolah pada era Orde Baru, tentunya saya kenyang dengan sejarah versi pemerintah mengenai integrasi Timor-Timur. Maka terbelalaklah mata saya ketika disuguhkan pandangan lain sejarah itu melalui film ini.
Film yang diproduksi oleh Australia ini berlatar belakang transisi pemerintahan di Timor-Timur sejak keluarnya Portugal dan masuknya Indonesia di tahun 1975 (spoiler bisa dibaca di sini). Pesan yang disampaikan film ini jelas: rakyat Timor-Timur menjadi korban invasi Indonesia. Beberapa artikel menyebut film ini bias; saya sendiri menyebutnya bukan lagi bias, melainkan rekaman sejarah versi yang berbeda. Lalu bagaimanakah saya harus bersikap sebagai orang Indonesia yang juga menjunjung keadilan?
Saya tidak ingin terjebak dalam pusaran perdebatan tentang sejarah versi mana yang benar. Pada kenyataannya memang sebagian cerita terbunuhnya kelima wartawan tersebut masih kelam. Keterangan para saksi dari kedua pihak juga masih diragukan kebenarannya sehingga belumlah kita dapat menyimpulkan bahwa film ini merupakan penggambaran sebenarnya dari peristiwa tersebut. Melalui film ini saya mendapat gambaran berbeda mengenai TNI yang brutal; suatu gambaran yang memicu kebencian rakyat Australia dan Timor Leste. Terus terang saya gentar melihat film ini. Saya seakan tidak percaya bahwa tentara nasional kita dapat berlaku sekeji itu dengan membunuh rakyat yang tak bersalah. Kalau saya menonton film mengenai Perang Dunia II atau Perang Bosnia, dengan mudah saya mengambil sikap bahwa tentara Nazi, Jepang, dan Serbia adalah orang-orang sadis. Namun kali ini yang menjadi “setan” adalah tentara kita, bangsa kita sendiri. Saya memasuki sebuah keadaan serba tidak enak dalam memandang peristiwa ini, mulai dari turut merasa bersalah, bersimpati pada para korban, sampai pada perasaan tidak sanggup berpandangan buruk terhadap TNI oleh karena saya juga orang Indonesia.
Namun ada pula sisi lain dari cerita ini yang tidak tergambar di film; Fretilin pun bertanggung jawab atas kasus pembantaian di daerah lain. Hanya karena belum ada film yang menggambarkan kekejaman Fretilin-lah yang membuat citra TNI memburuk tanpa penyeimbang. Pandangan saya tentang Fretilin setelah menonton film ini juga jadinya kabur: Fretilin mengaku mereka bukan komunis, mereka memperjuangkan kemerdekaan bangsa Timor Leste (hal yang juga kita amini dalam Pembukaan UUD 1945 kita), namun Fretilin juga tidak bersih dari kekejaman.
Akhirnya saya mencoba mencari jalan tengah dari fakta dan opini yang berlawanan ini. Saya berpandangan bahwa dalam sebuah konflik bersenjata, semua pihak tidak selalu dapat bertindak sepenuhnya sesuai dengan Konvensi Jenewa. Akan ada oknum, ataupun organisasi, yang membenarkan alasan mereka membunuh pihak-pihak di luar militer bersenjata. Semua pelanggaran ini adalah salah; dalam konteks Balibo, baik yang dilakukan oleh TNI maupun Fretilin salah karena mendatangkan ketidakadilan bagi para korban. Namun saya juga percaya bahwa meskipun setiap bangsa memiliki sejarah kelamnya sendiri-sendiri, mereka juga memiliki hak untuk berdamai dengan masa lalu, berdamai pula dengan pihak-pihak yang bermusuhan, lalu mengambil langkah-langkah rekonsiliasi guna kepentingan hubungan di masa depan yang lebih baik. Sama seperti Jepang, Jerman, dan Serbia yang mampu mengatasi masa lalunya, saya pun percaya bahwa Indonesia dapat belajar dari kekeliruan masa lalu dan mengambil langkah tepat agar tragedi itu tidak terulang lagi. Sebagai orang Indonesia saya tentu mengambil langkah yang menurut orang asing bias: saya tetap percaya pada profesionalisme TNI dalam bertugas di medan perang. Yang saya harapkan adalah agar Indonesia dapat mengambil langkah yang elegan dalam rekonsiliasi dengan rakyat Timor Leste sekaligus memulihkan citra kita. Sebuah perjuangan yang panjang, namun patut.
Sumber gambar: bacabuku.org
sepertinya postingan ini terlalu berat buat saya, yang *agak* buta soal sejarah. -.-
tapi kalo melihat dari sisi film, kayaknya boleh juga buat ditonton.. dan karena dilarang beredar, jadi lebih penasaran lagi buat. (okok)
yang bajakannya ada kok bro. Cari deh 😉
baru liat sinopsisnya, biasa kl orang2 lagi senewen bisanya cuma liat kulitnya doang….lam kenal lagi…
jangan cuma lihat sinopsisnya mas, coba tonton filmnya. hehehe.
thanks atas kunjungan baliknya 😀
pertama, saya suka dengan judul artikel ini. dan kedua, sesuai prediksi saya sebelumnya anda akan menulis dng bijak.
sejarah masa lalu menurut saya mmg harus disikapi dng cara bijaksana, dng jalan tengah apalagi klo kita bukan pelaku sejarah itu.
Makasih banyak komentarnya, Mas. Jadi tambah semangat nulis 😀
Nyong Brad…
saya setuju sekali dengan cara pandang anda yang mengatakan bahwa setiap Bangsa pasti memiliki masa lalu yang kelam. Yang diperlukan disini adalah kedewasaan bangsa tersebut untuk menerima bahwa sejarah yang kelam tersebut pernah ada di catatan sejarah yang pernah dilalui, bukan lantas dimanipulasi atau ditutupi sampai di putarbalikkan sehingga bangsa tersebut terkesan yang paling benar dan mengkambing hitamkan bangsa lain.
Saya bangga sebagai Bangsa Indonesia dan saya mencoba berbesar hati, seperti yang anda lakukan, bahwa Indonesia pun tidak lepas dari masa lalu yang memalukan ini.
Saya pernah menelusuri rute Kupang hingga Kefamenanu. Saya menemukan sedikit banyak, versi sejarah yang berbeda dengan apa yang saya telan selama ini. Saya tidak bermaksud menambah kebencian sekelompok pihak akan sekelompok pihak lain atau suatu bangsa. Hendaknya, pandangan apapun diterima oleh berbagai pihak dengan kepala dingin dan hati terbuka. duh, berat banged nih nulis yang kayak gini. hahaha…..anyway, saya percaya, saudara-saudara kita di Timor Leste sana telah memilih yang terbaik ketika jajak pendapat diadakan pada 1999. Bukan mendukung disintegrasi mereka, tapi saya percaya, semua ini memang sudah jalanNya 🙂 Sekiranya, memang Timor Leste jauh lebih baik setelah menjadi negara sendiri, yah, sekali lagi, saya percaya itu memang sudah jalanNya. 🙂
maaf kalau komentar saya terlalu berat…hahahaha
Gak ada komentar yg terlalu berat kok, bro. Senada dengan anda, kalau memang itu sudah jalanNya, gak akan ada yg bisa menghalangi. Saya juga pernah bertemu eks pengungsi Timtim di Oebello (masih dekat Kupang) yang memillih menjadi WNI meski dengan segala keterbatasan yang ada di lahan pemberian pemerintah. Tapi gak urung miris juga sih mendengar mereka berkomentar, “Dili su maju sekarang.” 😦
Ya. Mereka ini yang sebenarnya perlu diappreciate lebih, karena memilih merah putih sebagai tumpah darah mereka, terlepas dari sejarah kelam yang pernah mereka alami dari 1975-1999 yach….Walaupun satu pulau, entah kenapa terasa sekali ada perbedaan antara orang Tetum Porto dan Tetum Terik. Jadi inget baru baru ini ada pecah kerusuhan antara warga Eks-TimTim dengan warga asli di Oesapa 😦 Di Kompas juga pernah ada liputan tentang “Mendapatkan Dollar yang mudah di Dili” dan “Kampung Internasional Itu Bernama Dili”. Sedikit banyak pasti ada perasaan gimana gitu terhadap jalan yang mereka tempuh.
Oh yah, nanti kan ada filmnya Tanah Air Beta tentang eksodusnya warga TimTim ke NTT. KIta lihat saja, kalau filmnya sudah tayang seperti apa 🙂 penasaran juga, beta 🙂
Good point. Tetum Terik dan Tetum Porto berbeda tentu krn pengaruh penjajah. Menurut pandangan saya, wilayah jajahan Portugis cenderung mengadopsi kultur majikannya dengan lebih strict (kecuali mungkin Macau); bisa terlihat dari kebijakan orang Porto yang mengabarkan Injil secara ekspansif kepada warga jajahan dan memaksa warga lokal mengadopsi nama Eropa. Sedangkan pengaruh Belanda di Timor Barat sebenarnya tidak terlalu kuat. Pemerintah Belanda sebelumnya anti Katolik selama beratus-ratus tahun sehingga para misionaris Katolik diusir keluar; hanya di Flores dan Timor mereka relatif bebas bergerak.
Perbedaan kultur selama ratusan tahun tersebut tentunya tidak mungkin hilang begitu saja dalam periode 24 tahun Indonesia di Timtim kan 😀
setiap bangsa dan umat manusia memiliki masa lalu
ada yang terbuka
ada yang tertutup
thanks komentarnya.
sedikit aja tambahan saya: memang benar ada yang tertutup, itu tidak salah.
akan tetapi yang tertutup itu pun juga mesti diselesaikan dengan baik, jangan hanya dikubur dan dianggap tidak pernah ada. lebih baik dibuka sejenak, sembuhkan lukanya (kalau ada), lalu tutup lagi dengan baik untuk selamanya 🙂
Salam utk teman-teman bertuah!
berat uy materinya 😀
he..he.. tapi yang pasti adalah : pertama, cari filemnya terus nonton dech. kedua, sejarah peradaban manusia tidak lepas dari 2 unsur, positif & negatif. apa yang kita dengar atau lihat baik sebetulnya ada unsur buruk yang melandasinya semisal untuk meraih kemerdekaan kita terpaksa melakukan hal keji seperti membunuh tentara belanda & tentara jepang, sama dengan misi penjajah, untuk kebaikan negeri mereka maka mereka melakukan expansi & invasi serta melakukan pembunuhan terhadap bangsa yg dijajahnya.
contoh paling sederhana, membunuh itu=keji tetapi pada satu titik, polisi yang identik dengan=kebaikan bagi masyarakat boleh melakukan pembunuhan terhadap penjahat dengan kriteria tertentu dan dalam kondisi tertentu.
jadi apa yang kita sebut keji atau buruk itu relatif tergantung sudut pandang dan posisi kita melihatnya serta alasan yang melandasinya.
apapun itu, lebih menyenangkan jika kita bisa menghindari sisi negatif tersebut dan hidup dalam damai.
salam
kangtatang
betul kang. pelajaran sejarah, di mana pun, memang subjektif 🙂
thanks kunjungannya 😀
tapi sayangnya, oknum-oknum itu masih banyak yang seliweran, mas! malahan masih ada yang masuk dalam lingkaran pemerintah..Ironic!!
yah, moga2 aja mereka “kembali ke jalan yg benar” 😀
Apakah proses blokir film itu sebetulnya hanya cara untuk meningkatkan rasa penasaran kita menonton film tersebut? mungkin kalo di Indonesia walau sudah di blokir tetep aja ada yang palsunya.
yang jelas menurut si pemblokir, tindakan itu justru buat mematikan rasa penasaran. tapi tentu kita tahu, perasaan gak pernah bisa dibunuh 😀
thanks kunjungannya!
Dulu waktu jaman sekolah seneng banget ama yang namanya pelajaran sejarah…. tp koq sekarang rada2 apatis ya ama yg namanya sejarah soalnya sejarah jadi banyak versinya, ga jelas, blur, abu-abu…. jadi sejarah mana yang harus dipercaya??!!
kalo saya sih ya, menggali informasi sedalam-dalamnya dari berbagai sisi/versi, lalu tarik kesimpulan sendiri. itulah sejarah yang paling dapat dipercaya 😉
Gan, baca opini balasan tulisan anda di blog saya….Manstafffff………..