19 Comments

Amprokan: Mendobrak Birokrasi

Gegap –gempita Amprokan Blogger di Bekasi yang baru berlalu masih jelas di ingatan saya. Saya sendiri heran mengapa saya bisa sampai mengikuti acara tersebut. Februari 2010, diawali niat menggiatkan lagi aktivitas ngeblog setelah sekian lama hiatus, saya lalu tidak sengaja menemukan Komunitas Blogger Bekasi dan secara kebetulan pula Be-Blog akan mengadakan perhelatan akbar. Maka saya pun memutuskan untuk ikutan. Ada beberapa poin yang ingin saya refleksikan di sini:

Baca Selengkapnya

21 Comments

Refleksi Film Balibo

Apa yang mampir di benak Anda ketika mendengar bahwa sebuah film tidak lolos sensor dan dilarang diputar? Kalau saya sih berpendapat bahwa kebebasan menonton film seharusnya tidak dilarang. Lalu kalau Anda ditawari menonton filmnya, apa Anda mau? Saya menemukan film “Balibo” secara tidak sengaja di rak DVD bajakan di Jakarta. Sebagai orang yang dibesarkan dan menempuh pendidikan sekolah pada era Orde Baru, tentunya saya kenyang dengan sejarah versi pemerintah mengenai integrasi Timor-Timur. Maka terbelalaklah mata saya ketika disuguhkan pandangan lain sejarah itu melalui film ini.

Baca Selengkapnya

12 Comments

Melacak Jejak di Depok

Depok adalah sebuah kota satelit di Jakarta. Setara dengan kota-kota satelit lain di pinggiran Jakarta, kota Depok juga mengalami kemajuan pesat seiring dengan perkembangan ibukota. Menurut sejarah, kota Depok bermula dari tahun 1696 ketika Cornelis Chastelein membeli sebidang tanah dan kemudian mewariskan tanah tersebut kepada para pekerjanya (lihat kisah selengkapnya di sini). Namun terlepas dari sejarahnya yang khas, kota Depok mengalami perkembangan yang hampir mirip dengan kota-kota penyangga Jakarta lainnya dalam beberapa dasawarsa terakhir. Salah satu momentum perubahan wajah Depok adalah ketika Universitas Indonesia memindahkan kampusnya ke sana, dan disusul beberapa kampus lain seperti Universitas Gunadarma. Perlahan tapi pasti, Depok berubah wajah. Para mahasiswa yang berdatangan lalu turut mewarnai kota ini, khususnya pada sebuah jalan utama, yaitu Jalan Margonda Raya.

Depok adalah tempat saya menghabiskan waktu kuliah pada dekade yang lalu (jadi bisa mengira-ngira umur saya berapa kan?!). Tentunya saya juga menghabiskan banyak waktu di Jalan Margonda. Di jalan ini saya pernah tertabrak mobil (Tuhan sayang sama saya; waktu itu saya sama sekali tidak mengalami luka kecuali rasa sakit ringan), menunggu angkot, menyambangi tempat-tempat makan, dan nge-warnet. Saya hafal deretan toko-toko di sana, terutama mulai dari mulut gang Kober sampai dengan Kampus Gunadarma. Intinya, sepanjang jalan Margonda menyimpan banyak kenangan buat saya (tsahhh!).

Selepas kuliah saya jarang berkunjung lagi ke Depok. Namun setiap kali saya kembali ke sana, saya selalu tercengang dengan wajah Depok yang cepat sekali berubah. Akhirnya saya memutuskan untuk mencari kembali “wajah lama” Jalan Margonda, bertepatan dengan undangan karaokean teman-teman deblogger pada hari Minggu kemarin. Acara karaokenya bertempat di Mall Depok; saya tahu tempat itu, cuma ancer-ancer yang diberikan lewat milis membingungkan saya (Index sama Ace Hardware itu dimana ya? Perasaan dulu belum ada). Akhirnya setelah kelar bernyanyi-nyanyi, saya putuskan untuk menyusuri kembali Jalan Margonda, mulai dari Margo City ke arah utara.

Margo City sendiri adalah sebuah mall baru; saya baru dua kali berkunjung ke situ. Nah, ada satu objek menarik ketika kita memasuki mall tersebut. Tepat di samping kiri pintu masuk utama, kita akan menemukan sebuah rumah tua yang sudah direnovasi dan dijaga kelestariannya oleh manajemen mall. Memang situs ini sudah menjadi bagian dari kompleks mall, namun keberadaannya masih dijaga meski fungsinya sudah dialihkan menjadi sebuah kafe.



Tampak depan The Old House, Margo City, Depok

Penjelasan singkat tentang the Old House, dapat dibaca di blog sungaikuantan.com

(dengan gambar-gambar yang lebih baik dari hasil jepretan kamera ponsel saya).

Lepas dari Margo City, saya menyusuri Jalan Margonda ke arah utara. Yang saya cari bukanlah objek wisata, melainkan tempat-tempat apa saja yang masih dapat saya kenali dari zaman kuliah dulu. Saya memilih berjalan kaki meskipun jalan ini telah diperlebar menjadi empat lajur. Bukannya apa, namun jumlah kendaraan yang melintas sudah sangat berlimpah sehingga jalan tersebut macet luar biasa (padahal itu hari Minggu). Secara umum Jalan Margonda memang sudah banyak berubah. Ada banyak ruko baru, lalu gedung-gedung perkantoran, fasilitas umum, sampai kompleks apartemen. Deretan bangunan lama juga masih banyak; fungsinya sebagai tempat usaha juga masih sama kecuali namanya saja yang berubah. Yang membuat saya penasaran adalah apakah kos saya dulu masih tersisa. Sayang sekali saya tidak menemukan bekas-bekasnya lagi. Dulu bangunan kos saya memiliki halaman yang luas dan rimbun di depannya, meski masih juga terletak di tepi jalan raya. Namun setelah mengingat-ingat kembali dan menghitung langkah, saya mengambil kesimpulan bahwa kos saya sekarang sudah dirombak menjadi sebuah kafe:

Zoe's Cafe, Margonda, Depok

Setelah tertegun memandangi bangunan ini saya lalu melanjutkan langkah. Tidak enak juga lama-lama di situ karena ada pelayan yang memperhatikan saya. Sampai akhirnya saya berhenti di depan Gang Kober dan memutuskan makan di sebuah restoran bakmi langganan saya dulu. Wah, rasa bakmi yang dulu saya anggap enak, kok sekarang jadi terasa biasa saja ya?!

Wajah Depok sekarang tidak saya kenali lagi; hanya sedikit sisa-sisa yang masih dapat ditemukan. Itulah dampak pembangunan. Meski saya bersyukur karena Depok sekarang semakin maju dan para mahasiswanya terlihat semakin progresif, tak urung saya merasa sedih juga karena tidak banyak lagi kenangan di sana. Ataukah ini perasaan normal untuk seseorang yang beranjak tua dewasa dan cuma ingin mengenang kembali masa lalunya?

Sebagai penutup, saya ingin menyajikan sebuah gambar remaja Depok yang sedang berkompetisi band di mall yang tadi saya kunjungi. They’re surprisingly good. Ah, meski sudah berubah, semoga wajah Depok ke depan menjadi semakin manusiawi.

Cool boys singing

13 Comments

Blogging = kebutuhan?!

“Blogging itu kebutuhan,” demikianlah tagline yang menggelayut di kepala saya sepanjang sore ini. Sebenarnya dunia nge-blog sudah saya jalani selama hampir 5 tahun; tentunya dengan pasang-surut sepanjang periode itu. Namun di balik pasang-surut itu toh sekarang saya masih nge-blog juga, bahkan lebih jauh lagi dengan cara bergabung dengan 2 komunitas blogger di Indonesia dan berinteraksi dengan mereka. Saya ingin mencoba merunut kembali isi otak saya dan menjelaskan alasan mengapa saya kembali ke dunia blog ini. Dengan mengambil kalimat di atas tadi sebagai pembuka, saya akan menghubungkan keduanya untuk melihat apakah kedua istilah itu dapat disetarakan.

Kita tentunya sudah tahu apa itu blog; saya tidak perlu lagi menjelaskan definisinya. Namun jika ditanya tentang aktivitasnya, maka yang paling mencuat adalah kegiatan jurnal harian. Isinya banyak ngalor-ngidul gak karuan; saya mencatat apa saja yang berkecamuk di pikiran dan merekam dunia sehari-hari saya. Kebiasaan menulis jurnal harian ini sebenarnya tidak terlalu telaten juga saya lakukan; hal itu hanya menjadi selingan. Namun di kala mood menulis itu sedang kuat, kata demi kata akan mengalir deras melalui jari-jemari saya.

Apakah yang mendasari hasrat nge-blog ini? Saya menyadari bahwa sesungguhnya saya adalah seorang introvert; cenderung tertutup dan jarang bercerita/ngobrol dengan orang lain. Namun demikian saya menyadari bahwa karakter seperti itu bukanlah karakter yang baik, hanya saja seringkali sulit bagi saya untuk berinisiatif memulai pembicaraan dengan orang lain. Saya kepingin ngobrol; tapi terkadang malu untuk memulai. Maka jadilah tulisan menjadi sarana penyaluran kebutuhan saya akan komunikasi dan sosialisasi tersebut.

Di situlah intinya: saya butuh berkomunikasi guna mengalahkan sifat asli saya yang introvert, sekaligus menjalin pertemanan dengan lebih banyak orang lagi. Saya butuh berkomunikasi juga sebagai sarana aktualisasi diri; sebuah kebutuhan naluriah pada manusia untuk melakukan yang terbaik dari yang dia bisa (dikutip dari sini). Oleh karena saya dapat “berbicara” dengan lebih leluasa melalui media tulisan, maka jadilah blog sebagai salah satu sarananya.

Dari sini saya dapat menarik kesimpulan bahwa meskipun blogging telah menjadi bagian dari kegiatan saya, pada hakekatnya kebutuhan yang sebenarnya bukanlah blogging itu sendiri. Ada sebuah penggerak utama yang lebih besar yaitu aktualisasi diri untuk menjalin komunikasi dengan orang lain. Dari sekian banyak cara untuk melakukan itu, alat yang saya pilih salah satunya adalah ngeblog.

Jadi singkatnya, blogging tidak sama dengan kebutuhan. Blogging hanyalah salah satu bagian dari kebutuhan. Tabik!

3 Comments

HP Saya Bisa Juga, Kok!

DISCLAIMER: This article is a personal reflection; it does NOT contain a paid-review of any product mentioned.

Saya punya HP sejak tahun 2001. Meski sudah gonta-ganti HP beberapa kali tapi tentunya fungsi HP utama yang saya gunakan selalu: telpon dan SMS. Ada banyak fitur yang bisa saja saya gunakan cuma sebatas dilihat-lihat saja untuk kemudian saya tinggalkan.

Nah, akhir-akhir ini, seiring dengan pesatnya perkembangan Blackberry, teman-teman saya pun semakin banyak menggunakannya. Dan yang menjadi kekesalan perhatian saya ketika bertemu dengan mereka, misalnya saat reuni, adalah pertanyaan mereka yang hampir sama, “Kok lu gak pake BB?!”

“Apa sih bedanya BB dengan HP biasa?”

“Oh banyak.” Lalu mereka jelaskan satu-satu.

“Ah, HP saya juga bisa!”

“Tapi kan HP biasa gak bisa…,” diteruskanlah dengan sederet argumentasi lainnya.

Terus terang saya rada keki juga karena HP Nokia 5320 XM yang saya beli tahun lalu dengan uang yang lumayan besar menurut saya itu, sekarang dipandang sebagai benda ketinggalan zaman. Berhubung saya gak ada duit tidak berminat membeli BB, maka saya pun coba meneliti lagi HP saya dan, kalau bisa, memaksimalkan fungsinya. Sekarang coba kita telaah:

1. Push Email

Ini dia fitur yang dibangga-banggakan para pengguna BB. Bagaimana dengan HP saya? Oh bisa, Nokia sudah meluncurkan layanan Messaging yang memungkinkan push email. Hanya saja layanan ini berbayar, Rp 20,000.- per bulan. Tapi kalo dipikir lagi, seberapa pentingkah kita menerima email tepat waktu? Saya kan belum bergantung sangat dengan email sehingga memerlukan fasilitas ini. So, saya gak mau pake.

2. Chat

OK lah, pengguna BB bisa memakai fasilitas messenger antar pengguna dengan gratis. Tapi HP saya pun bisa digunakan untuk chat dengan platform Ebuddy, dimana saya bisa memasukkan akun YM, MSN, dan FB saya.

3. Bentuk keypad QWERTY

OK, HP saya tidak ada keypad macam itu. So what?!

4. Aplikasi lain

Wah, banyak yang bisa saya lakukan. Tapi aplikasi terbaru yang saya baru install pagi ini adalah Google Maps Mobile, dimana saya bisa mencari jalan melalui peta yang tersedia pada HP saya, bahkan bisa menunjukkan posisi real-time saya layaknya GPS device. Seru kan?!

Jadi, dengan segala hormat kepada para pengguna BB, saya ingin mengatakan bahwa saya belum memerlukan fasilitas yang ada di BB karena saya sudah mendapatkan semua kebutuhan saya melalui HP yang saya miliki sekarang. Kecuali kalau ada keperluan lain (atau ada yang ngasih BB ke saya gratis), mungkin saya akan memikirkan untuk membeli BB.

Demikianlah, sharing ngalor-ngidul kurang penting hari ini. Have a nice long weekend! 😀

3 Comments

Pecah Kongsi

“Skornya 7-2 katanya”, begitu komentar Kang Dodi di posting saya terakhir. Anda semua sudah pahamlah maksudnya: pandangan akhir Pansus Century semalam cukup variatif mulai dari fraksi yang menyetujui tindakan bailout pada November 2008 lalu dan tidak ketinggalan juga fraksi yang menuntut pertanggungjawaban secara hukum pada nama-nama yang mereka sebutkan. Kesimpulannya ya itu tadi: warna-warni.

Lalu apa implikasinya? Sebuah tagline liputan di sebuah televisi hari ini cukup singkat: Pecah Kongsi. Tentunya yang dimaksud adalah pecahnya koalisi antara PD dengan teman-temannya. Masih terlalu dini untuk meraba apakah perpecahan ini akan terjadi; adalah sebuah konsekuensi mahal bagi pemerintah bila hal ini dipaksakan (menurut saya). Namun melihat ajrut-ajrutan dinamika politik selama beberapa bulan terakhir ini, rasanya segala kemungkinan dapat terjadi bila para elit politik sedang emosi.

Eh, tapi sebelum kita lari kesitu, coba kita undur lagi ke pemandangan tadi malam. Saya sendiri gak kuat nonton dagelan rapat pansus semalam sampai akhirnya ketiduran di depan televisi. Tapi sewaktu sempat menyaksikan pandangan akhir 3 fraksi pertama, suasana malam itu sudah bisa tergambar. Cuma terus terang ya “Bapakku Sayang” (istilahnya Madam Sri Gayatri^^), rasanya kok capek ya kita ngalor-ngidul membahas apakah kebijakan bailout itu pas atau tidak. Yang lebih menyakitkan hati rakyat adalah uang USD 670 juta (sengaja saya pake dolar biar lebih shock) itu yang sekarang entah menguap kemana, itu juga tidak dibahas. Layar inilah yang sebenarnya belum terbuka sehingga saya menilai bahwa pekerjaan Pansus, meski sudah on track (ini istilah seorang pengamat yg saya lupa namanya), tapi belum menyentuh dasarnya. Nah, kelihatannya sesudah pandangan akhir ini digelar, Pansus tinggal merumuskan kesimpulan akhir untuk kemudian disampaikan ke paripurna DPR. Sesudah itu, selesai kan?! Berarti soal aliran dana, “selesai” juga kan?!

Sayang sekali kalau langkah Pansus cuma berhenti sampai di sini. Semoga ada mekanisme baru di parlemen yang akan terus menguak kasus ini sampai pada aliran dananya, sehingga terang-benderang.

3 Comments

Tonight Is The Night

“Tonight is the night,” a friend said to me this afternoon over chat. What’s going on?

It’s now 10:31 PM and my eyes are glued to the television; despite the constant yawning that I’ve had since the last hour. There’s definitely something important going on tonight. For non-Indonesians who may not be aware of the political situation: a local bank had been backed up by the government during the economic crisis in 2008, thus prevented it from going bankrupt. The amount of US$ 670 million was then donated provided to bail out the bank and to ensure that investors got their money back. But then what happened? The bail-out fund evaporated just like that; some investors still haven’t got their investment back; the bail-out process was filled with corruption allegations; and even the president was suspected of receiving some of the money for his presidential campaign.

The parliament then set up a special committee to seek out the whereabouts of the money and to question the decision to put the bank under the bail-out program. After weeks of exhausting examinations, tonight they are reaching a conclusion.

Tonight is the night; the meeting in underway…

4 Comments

Reuni

Reuni, di mata saya, telah menjadi fenomena. Mengapa? Kalau Anda pergi ke food court atau restoran di mall pada akhir pekan, terutama Jumat malam, Anda pasti akan menemukan beberapa kelompok orang yang heboh berpelukan pada saat bertemu, ngobrol dengan asyik dan kadang diselingi tertawaan ngakak keras-keras, lalu diakhiri dengan sesi foto bersama, biasanya dengan meminta seorang pelayan untuk menjadi tukang foto dadakan 🙂

Ya, itulah kelompok yang sedang mengadakan reuni. Bermacam-macam latar belakangnya. Ada reuni sekolah, kuliah, daerah asal, kantor, dsb. Menariknya, fenomena ini mulai terasa kemunculannya pada akhir tahun 2008, seiring dengan fenomena facebook. Dimulai dari pencarian akan teman-teman lama, berlanjut pada keinginan bertemu, jadilah reuni. Namun mengapa kita mengadakan reuni?

Ketika kita masih bersekolah atau kuliah, kita banyak berteman dengan orang-orang dari sekolah dan kampus yang sama. Oleh karena pada masa-masa itu kita belum dibebani tanggung jawab menghidupi diri sendiri dan mencari nafkah, maka kerjaan kita setelah sekolah selesai tentunya main kan :). Lalu kita juga membangun “identitas bersama” sesuai dengan wadah sekolah kita.

Meski sudah lulus, tentunya keinginan untuk berkumpul lagi itu selalu ada. Kalau berdasarkan pengalaman pribadi, hasrat untuk mengadakan reuni itu baru ada sejak kita mulai menginjak usia 30-an. Mengapa? Teman-teman SMA, misalnya, terkadang masih suka bertemu kita sewaktu kuliah, jadi status pertemuan itu masih “ngumpul bareng,” belum cocok disebut reuni. Lalu semasa membangun karir, kita disibukkan oleh urusan masing-masing yang mengurangi kesempatan untuk bertemu kawan-kawan lama. Nah, usia 30-an adalah masa-masa kita mulai mapan dengan pekerjaan dan keluarga kita; mulailah ada waktu luang untuk bersantai sekaligus rasa penasaran akan keberadaan teman-teman lama kita. “Anaknya si Anu udah berapa ya? Si mantan gue udah kawin belum ya?” Maka jadilah kegiatan reuni itu dilakukan. Apalagi dengan ada FB, maka urusan mengatur jadual sama kontak teman-teman jadi lebih mudah.

Reuni bagi saya adalah kebutuhan bersosialisasi yang tak kalah penting, yaitu bagaimana kita menjalin lagi pertemanan yang sempat renggang karena waktu. Reuni juga menjadi ajang menyaksikan bagaimana rekan kita sekarang telah berubah dari yang dulunya cupu sekarang menjadi orang. Lalu juga membuat kita berpikir, di mana posisi kita sekarang. Memang sih, reuni juga membuat kita menjadi membandingkan kesuksesan orang lain dengan kita sendiri; sesuatu yang dapat menimbulkan iri hati. Namun dengan reuni kita dapat membangun lagi identitas sosial yang pernah kita miliki, sekaligus mempererat lagi persahabatan kita sampai tahun-tahun mendatang.

Leave a comment

Perlukah Mengontrol Aktivitas Internet?

Beberapa hari terakhir ini media Indonesia diriuhkan dengan kabar rencana Kemkoninfo menerbitkan RPM tentang Konten Multimedia. Tentunya hampir semua pihak menolak rencana tersebut karena berpotensi dipelintir; yang tadinya menjadi alat bagi kekuasaan untuk menindak para netters yang kelakuannya tidak bertanggung jawab di dunia maya, justru menjadi senjata untuk memberangus kebebasan mengambil dan menyebarkan informasi.

Meski hari ini Menkominfo telah memberikan pernyataan bahwa RPM tersebut akan ditarik bila diteliti akan membelenggu kebebasan pers, tak urung kelitan pernyataan tergesa-gesa tersebut justru menimbulkan prasangka yang lebih dalam lagi. Kenapa sih, kok kayaknya takut banget ama kita-kita?

Jika saya adalah penyelanggara jasa internet, apakah saya juga harus turut bertanggung jawab atas perilaku pengguna jasa saya? Mengapa bukan pelakunya yang ditindak? Para perusahaan percetakan koran saja selalu memasang tulisan pada setiap cetakan mereka “isi di luar tanggung jawab percetakan.” Sepertinya Pak Menteri salah tembak ya?

Lalu saya pribadi sebagai pengguna jasa internet sekaligus blogger memang tetap tunduk pada aturan UU ITE yang baru yang intinya menegaskan bahwa perilaku di dunia maya dapat pula dituntut pertanggungjawabannya di dunia nyata. Namun jangan lupa, meskipun kebebasan itu menuntut tanggung jawab, KEBEBASAN TETAPLAH KEBEBASAN. Saya memandang pemerintah tidak perlu membatasi ruang gerak netters di dunia maya dalam bentuk sensor apapun. Kalau nanti nyata-nyata terbukti ada perbuatan melanggar hukum, barulah pihak yang merasa dirugikan dapat mengadu ke pengadilan.

Oleh karena itu, dengan tetap memperhatikan norma dan hukum yang berlaku, saya juga ingin berteriak lantang: “Say Yes to Internet Freedom!”

===

Sumber gambar: Paman Google

7 Comments

facebook frenzy

Istilah di atas mungkin dapat menggambarkan keriuhan facebook yang sudah menjadi percakapan sehari-hari. Tulisan saya berikut tidak bermaksud untuk mengajukan diskusi pro-kontra facebook; ya sudahlah, kita terima saja bahwa facebook adalah bagian dari hidup sosial kita. Saya cuma ingin sedikit share tentang keriuhan yang saya amati akhir-akhir ini:

Facebook dipenuhi banyak game yang menarik, mulai dari permainan bertani, menjadi juru masak, pengusaha, mafia, dsb. Kesemua game itu menyita banyak waktu jika “ditekuni” secara serius sehingga hal-hal lain menjadi terbengkalai. Pergulatan ini saya alami sehari-hari secara saya adalah seorang “petani” handal di salah satu game paling terkenal.^^

Semakin banyak aplikasi yang kerjanya cuma mengirimkan “gift” ke pengguna facebook. Memang sih kiriman gift itu dari teman-teman kita sendiri, tapi lama-kelamaan saya kok malah muak ya dengan semua kiriman itu. Jadinya kayak spam.

Trus ada juga teman-teman yang berdalih ingin bisnis dengan cara memasang foto produk mereka di FB lalu nge-tag semua teman-teman mereka. Pernah sekali saya menemukan profil saya mirip etalase jualan sehingga saya terpaksa komplain ke teman saya itu. 😦

Masih sering update status? Kok saya melihat frekuensi pemasangan status makin menurun seiring peningkatan jumlah “gift spam” tadi. Lagipula status yang dipasang umumnya berisi diary remeh-temeh misalkan “Si Anu sedang jalan di mall”; lama-lama kok makin gak penting ya.^^

Menarik sekali menyaksikan facebook berevolusi seperti ini. Entah akan seperti apa FB ke depannya, kita masih belum tahu. Yang jelas, dunia internet pun ada evolusinya. Suatu saat nanti mungkin ada media lain yang akan menggusur facebook.

Untuk sementara ini, cara saya mengurangi kecanduan FB adalah balik nge-blog. :))